Kala itu, delapan tahun lalu, tujuh gadis berseragam putih biru duduk di depan ruang kelas mereka, bersantai sembari menunggu jam pelajaran tambahan untuk persiapan Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama dimulai. Salah satu dari mereka berujar, "Eh, kita kan bertujuh, gimana kalau kita kasih nama 'semes' untuk gang kita, mirip sama nama boyband yang lagi naik daun". Pertemanan yang akhirnya menyatukan enam orang Muslim, termasuk satu orang laki-laki yang kemudian bergabung dalam kelompok, dan dua orang Kristen, termasuk aku.
Lahir dari sebuah keluarga Kristen yang taat tidak lantas membatasiku berteman dengan teman-teman berkeyakinan lain. Orang tuaku bahkan mendorong aku masuk ke sekolah negeri, agar aku punya kesempatan untuk memahami dunia yang sangat beragam. Sayangnya, gejala gegar budaya di awal tahun ajaran mendorong aku untuk hanya berteman dengan orang-orang yang aku kenal dari kelompok persekutuan doa Kristen di sekolah. Aku tidak sama sekali antipati, namun sering kali menolak ajakan untuk sekadar berkumpul di kafe sepulang sekolah.
Meski lambat laun aku mulai bisa beradaptasi dan bersahabat dengan beberapa teman Muslim, tetap aneh rasanya ketika kami kemudian sering berkumpul pada bulan Ramadhan untuk mengikuti acara buka bersama, ketika aku bahkan sama sekali tidak berpuasa. Teman-teman tetap mengundangku datang, "anggap saja ajang reuni" kata mereka. Satu hal yang menarik perhatianku, mereka ternyata tidak pernah sekalipun mengucapkan 'Selamat Natal' atau selamat-selamat lain saat aku merayakan hari raya keagamaanku. Aku tersinggung. Apalagi beberapa saat kemudian muncul isu pelarangan mengucapkan 'Selamat Natal' oleh salah satu lembaga Muslim. Hal itu tanpa sadar memengaruhiku untuk semakin mengurangi intensitas untuk bergaul dengan teman-teman Muslim di sekolah.
Sampai pada akhirnya di kelas sembilan, aku terpilih sebagai anggota panitia acara kelulusan. Di situlah aku yang awalnya merasa minder untuk menjadi satu-satunya panitia yang beragama Kristen, kemudian berani untuk membuka diri. Menunggu mereka sholat bukan lagi menjadi masalah, toh rapat di hari Minggu selalu dilaksanakan setelah ibadahku selesai. Berteman dengan mereka ternyata tidak seburuk itu. Aku justru mendapat pemahaman baru tentang Islam yang sebelumnya sama sekali tidak aku ketahui. Aku juga memahami bahwa toleransi memiliki makna yang lebih dari sekadar mengucapkan selamat di setiap perayaan.
Toleransi adalah perihal kemampuan kita untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa terlebih dahulu melabeli mereka dengan label-label sosial mereka, yang bisa jadi mereka dapatkan melalui paksaan. Karena bisa jadi, apa yang kita ketahui hanyalah pintu gerbang menuju istana megah yang berisi pengalaman-pengalaman hidup yang luar biasa. Bahwa toleransi adalah usaha berkesinambungan untuk menjadi sejajar dengan orang lain, tanpa berusaha untuk menarik mereka ke posisi di mana kita berada. Kini, ketika aku telah memiliki pola pikir yang jauh lebih dewasa dibanding diriku kala itu, aku mulai bisa merenungkan pengalaman itu.
Apakah menjadi minoritas adalah takdir atau pilihan? Dan apakah minoritas merupakan ide yang benar-benar ada atau hanya sekadar pola yang dibentuk untuk mengkotak-kotakan manusia? Menjadi minoritas harusnya bukan menjadi hak istimewa seseorang untuk menuntut perubahan, tapi melakukan perubahan. Kesempatan untuk membangun dialektika perlu dimanfaatkan untuk memahami lokus, sehingga perjumpaan dengan seseorang untuk pertama kalinya tidak akan lagi mendorong kita untuk secara otomatis menempatkan diri dalam hirarki kami dan mereka, tapi kita.
Salatiga, 7 November 2018.Lahir dari sebuah keluarga Kristen yang taat tidak lantas membatasiku berteman dengan teman-teman berkeyakinan lain. Orang tuaku bahkan mendorong aku masuk ke sekolah negeri, agar aku punya kesempatan untuk memahami dunia yang sangat beragam. Sayangnya, gejala gegar budaya di awal tahun ajaran mendorong aku untuk hanya berteman dengan orang-orang yang aku kenal dari kelompok persekutuan doa Kristen di sekolah. Aku tidak sama sekali antipati, namun sering kali menolak ajakan untuk sekadar berkumpul di kafe sepulang sekolah.
Meski lambat laun aku mulai bisa beradaptasi dan bersahabat dengan beberapa teman Muslim, tetap aneh rasanya ketika kami kemudian sering berkumpul pada bulan Ramadhan untuk mengikuti acara buka bersama, ketika aku bahkan sama sekali tidak berpuasa. Teman-teman tetap mengundangku datang, "anggap saja ajang reuni" kata mereka. Satu hal yang menarik perhatianku, mereka ternyata tidak pernah sekalipun mengucapkan 'Selamat Natal' atau selamat-selamat lain saat aku merayakan hari raya keagamaanku. Aku tersinggung. Apalagi beberapa saat kemudian muncul isu pelarangan mengucapkan 'Selamat Natal' oleh salah satu lembaga Muslim. Hal itu tanpa sadar memengaruhiku untuk semakin mengurangi intensitas untuk bergaul dengan teman-teman Muslim di sekolah.
Sampai pada akhirnya di kelas sembilan, aku terpilih sebagai anggota panitia acara kelulusan. Di situlah aku yang awalnya merasa minder untuk menjadi satu-satunya panitia yang beragama Kristen, kemudian berani untuk membuka diri. Menunggu mereka sholat bukan lagi menjadi masalah, toh rapat di hari Minggu selalu dilaksanakan setelah ibadahku selesai. Berteman dengan mereka ternyata tidak seburuk itu. Aku justru mendapat pemahaman baru tentang Islam yang sebelumnya sama sekali tidak aku ketahui. Aku juga memahami bahwa toleransi memiliki makna yang lebih dari sekadar mengucapkan selamat di setiap perayaan.
Toleransi adalah perihal kemampuan kita untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa terlebih dahulu melabeli mereka dengan label-label sosial mereka, yang bisa jadi mereka dapatkan melalui paksaan. Karena bisa jadi, apa yang kita ketahui hanyalah pintu gerbang menuju istana megah yang berisi pengalaman-pengalaman hidup yang luar biasa. Bahwa toleransi adalah usaha berkesinambungan untuk menjadi sejajar dengan orang lain, tanpa berusaha untuk menarik mereka ke posisi di mana kita berada. Kini, ketika aku telah memiliki pola pikir yang jauh lebih dewasa dibanding diriku kala itu, aku mulai bisa merenungkan pengalaman itu.
Apakah menjadi minoritas adalah takdir atau pilihan? Dan apakah minoritas merupakan ide yang benar-benar ada atau hanya sekadar pola yang dibentuk untuk mengkotak-kotakan manusia? Menjadi minoritas harusnya bukan menjadi hak istimewa seseorang untuk menuntut perubahan, tapi melakukan perubahan. Kesempatan untuk membangun dialektika perlu dimanfaatkan untuk memahami lokus, sehingga perjumpaan dengan seseorang untuk pertama kalinya tidak akan lagi mendorong kita untuk secara otomatis menempatkan diri dalam hirarki kami dan mereka, tapi kita.
Ditulis untuk Aksi Jalan Damai #KitaMinoritas
0 comments