• Home
AndilineTheaPranasari's project. Do not copy without any permission. Powered by Blogger.
facebook twitter instagram Email

carpe diem

when life gives you lemon, suck it anyway.

By the time I posted this writing, I might (hopefully) be just chilling in my backyard, drinking green juice after the workout, and celebrating my day of turning 25. In the midst of this terrible situation that has been going on in the world, instead of the celebration and freneticism, I should focus more on the struggles and lessons that I've got throughout my life. I came to learn that I have lived a privileged and blessed life, given the education, house, family, support system that I have right now. Obviously, there are people living more glamorously than I am but it is not really the point. 

Setelah dilihat ke belakang, baru kelihatan bahwa sejak umur 20 saya cenderung kurang menikmati fase hidup yang saya jalani, terlalu berlarut ke masa lalu dan sibuk mempersiapkan masa depan tanpa being in the present. Saya selalu kehilangan fokus untuk menikmati setiap momen yang saya jalani saat itu. Ujungnya, saya jadi sering gegabah, terburu-buru, dan justri sibuk mencari jati diri lewat orang lain bukan dari apa yang sebenarnya disukai dan sebagaimana diri ini sebenarnya. Selama ini saya mati-matian berjuang untuk melihat dan mengagumi orang lain, berusaha menjadi mereka dan meraih prestasi seperti yang mereka raih tapi lupa melihat ke dalam. Lupa melihat passion diri yang sesungguhnya dicari. Saya sibuk melakukan banyak hal, membangun berbagai macam ambisi, mengejar ratusan prestasi hanya agar bisa 'dilihat' dan diterima orang lain. Ketika muncul pertanyaan: What is my purpose in life? Apa ya yang mau dicapai? Saya gak bisa jawab. I feel like my life for the past 25 years is simply meaningless and less significant. I don't think people remember me once I'm gone. I haven't contributed anything to the society, I couldn't even reach my goals and dreams, even keeps taking opportunities less than my targets. 

Capek? Jelas. Bahkan akhir-akhir ini saya tiba di satu titik di mana saya merasa tersesat, tidak lagi mengenal siapa diri saya, apa kesenangan saya, apa yang saya inginkan di masa depan, sulit mencari semangat untuk menjalankan hal-hal yang sebelumnya saya sangat cintai. Segala sesuatu terasa tampak lebih jelas enam sampai delapan tahun lalu ketika idealisme belum berbenturan dengan realita yang ada. Tentu setiap orang pernah mengalami fase ini, fase belajar dan berkembang menjadi seseorang. Tapi saya juga kadang heran, kenapa ya orang-orang sukses yang saya kagumi bisa terlihat effortless menjalani hidup sesuai passion mereka seolah-olah mereka sudah tau apa yang mereka inginkan sejak mereka baru lahir? Apa mereka tidak mengalami struggle yang sama dengan apa yang saya rasakan saat ini? Apakah memang saya ditakdirkan untuk selalu menjadi medioker, gak signifikan dan tidak perlu dikenal sebegitu banyak orang?

Kemungkinan besar saya salah. Kemungkinan besar apa yang saya lihat saat ini adalah masa-masa menuai mereka, sementara saya masih ada pada fase menabur dan menanam benih. Well, bisa jadi ini juga menjadi pekerjaan rumah baru dalam menapaki jenjang kehidupan selanjutnya. Di langkah baru ini, semoga saya juga bisa lebih fokus pada perkembangan diri, seek from within tanpa perlu sibuk membandingkan dengan prestasi orang lain yang terus-terusan membuat saya hilang fokus. 

Kontemplasi-kontemplasi yang terus berputar di kepala saya beberapa minggu sebelum hari ulang tahun saya ini juga membawa saya pada satu titik lain. A few weeks ago, I suddenly found a sort of enlightenment about being at peace with my past, especially berkaitan dengan orang-orang yang pernah menyakiti dan saya sakiti. Entah muncul dari mana tiba-tiba ada perasaan lega begitu dalam yang saya rasakan seolah dada saya terasa lebih lapang. Pada saat itu saya bisa melihat masa lalu tanpa perasaan sakit hati, sesuatu yang sudah lama saya impikan. Saya kemudian memberanikan diri untuk pelan-pelan merekoleksi memori dan mengembalikan hubungan saya dengan masa lalu yang sebelumnya saya simpan rapat-rapat. Surprisingly it feels somehow liberating. And by that I am ready to take a step forward, tidak lagi berada di bayang-bayang masa lalu dan menjadi lebih present. Memang masih ada kesulitan-kesulitan lain, tapi entah kenapa ada keberanian dan keyakinan lebih untuk melangkah dari titik ini.

I believe that my self-identity has changed a lot. Determined by my interaction with others, as well as my self-projection through the people I look up to, I have grown into someone I have become now. Kehidupan saya lima tahun yang lalu tentu berbeda dengan kehidupan saya saat ini. Bahkan secara drastis, ada banyak orang yang dulu ada dalam hidup saya namun sekarang tidak ada lagi. Ada mimpi-mimpi yang dulu saya pegang teguh, sekarang tidak lagi. Itu semua adalah proses hidup saya, yang ternyata berlangsung begitu cepat bahkan dalam kurun waktu yang begitu singkat. Saya menyempatkan diri bertanya ke beberapa teman yang saya anggap dekat dan sangat tau karakter saya, dan mereka lihat how I evolve into a more mature person, with less ego and more realistic. Ambisi saya tetap sama, tapi pendekatan dalam pencapaiannya lebih masuk akal. Saya masih menjadi teman yang bisa diandalkan dan perhatian. Begitulah sedikit banyak komentar yang saya dapatkan, dan saya bukan semata setuju namun lebih mengamininya. Ternyata kehadiran saya tidak se-meaningless itu. Ternyata saya masih bisa memberi makna, meskipun hanya untuk orang-orang terdekat. That's what matters. Ternyata saya tidak perlu mencari sejauh itu, justru mulai dari diri sendiri dan hal-hal yang paling dekat dengan kehidupan yang kita jalani saat ini. Ternyata saya tidak perlu terlalu pusing untuk memikirkan dan merancang kehidupan ideal sesuai dengan apa yang saya harapkan, namun harus lebih menikmati dan mensyukuri setiap inci dari hal-hal yang saya punya saat ini. 

Untuk itu, saya mau bilang: 

The, thank you for always standing up for yourself and your ambitions, no one can do it but yourself.  Terima kasih ya sudah berjalan, jatuh, bangkit dan berusaha untuk menjadi kamu apa adanya. Tidak pernah mudah, tapi bukan tidak penting untuk terus dijalani. Terima kasih untuk terus bersabar, meskipun di tengah jalan muncul keinginan untuk menyerah tapi kamu tidak pernah benar-benar berhenti. Jangan lupa untuk lebih sering minta maaf, berterima kasih, dan memeluk dirimu sendiri karena tidak akan ada orang lain yang bisa dan harus sayang dengan dirimu sendiri kecuali kamu. Perjalananmu masih panjang, akan jauh lebih banyak hal menarik yang menanti untuk dijalani. Istirahat secukupnya, menangis secukupnya, mengeluh secukupnya, bahagia sebanyak-banyaknya. Teruslah berpengharapan dan berusaha menjalani hari dengan penuh ucapan syukur setiap harinya. Hidupmu akan lebih bermakna melalui ucapan syukurmu atas apa yang kamu miliki saat ini. Bukan semata harus memenuhi ekspektasi orang lain. Itulah yang akan membuat hidupmu lebih berarti. Selamat ulang tahun! Selamat merayakan tahun kehidupan barumu. Semoga kamu selalu menemukan ketika mencari, dan mendapat ketika meminta, meskipun bukan di saat yang tepat seperti apa yang kamu bayangkan. 

You only have yourself, invest in it.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Bertumpu pada satu keyakinan bahwa cuaca yang baik tidak boleh dilewatkan dengan berdiam di rumah, serta perjumpaan kembali dengan teman sepelarian, kami berlima menempuh perjalanan ke daerah Ampel di mana Air Terjun Semuncar terletak. Ini bukan kali pertama saya berkunjung. Kunjungan pertama beberapa bulan yang lalu cukup berkesan karena bentang alam yang indah juga jalur menantang yang jujur sering kali membuat saya ingin menyerah di tengah. Namun, perjalanan kedua kali ini memberi kesan begitu berbeda. Selain mental dan fisik yang lebih siap, cuaca yang lebih cerah, saya juga punya keyakinan kuat dalam hati bahwa perjalanan ini akan memberi begitu banyak cerita, makna, dan refleksi. 
Kali ini kami memilih untuk menyediakan lebih banyak waktu untuk bersantai, makan indomie, ngopi dan bermain air di air terjun yang lebih kecil dan lebih sepi. Kenikmatan yang kemudian membuat hati saya terasa sangat hangat dan penuh. Jarang saya bisa menikmati alam sebagaimana adanya. Apa yang tersedia sekarang terlalu banyak dipoles untuk sesuatu yang fana. Kenyataan yang saya alami beberapa hari lalu membuat saya belajar untuk mencintai kenyataan lebih dalam lagi. To be present in reality is a form of self-love. Semenakutkan atau semenyenangkan kenyataan itu, semuanya harus dihadapi dengan hati yang ikhlas dan lapang. Itulah yang membuat langkah kita lebih pasti dan terasa jauh lebih ringan untuk dilalui. Doubts and fears are inevitable. Tinggal bagaimana kita mau mengolah itu semua menjadi semangat bagi kita untuk bergerak maju menuju kenyataan-kenyataan lainnya. Berhenti atau melangkah mundur hanya membawa kita pada posisi-posisi traumatis yang sudah pernah kita lalui sebelumnya. Hanya dengan melangkah maju kita bisa tau keindahan-keindahan yang tidak pernah kita tau sebelumnya. 
Perjalanan lalu seolah menjadi miniatur hidup saya. Berbatu, licin, berbahaya, melelahkan, dan tidak pasti. Banyak kali saya mengeluh. Sering kali saya ingin berhenti. Pada akhirnya saya memilih untuk istirahat sejenak, mengumpulkan tenaga, hingga sampai juga di mata air yang menyegarkan dan menengkan.
Terima kasih semesta untuk kebaikan-kebaikan kemarin, hari ini, juga besok. Saya masih akan mengeluh, tapi saya tidak akan berhenti. 










 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
untuk segala sesuatu ada masanya
untuk apa pun di bawah langit ada waktunya
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Enam hari lagi saya akan untuk pertama kalinya mengikuti salah satu event marathon paling tersohor di jagad perlarian Indonesia, Borobudur Marathon, untuk nomor Half Marathon. Meskipun ini bukan Half Marathon pertama, namun masih ada penasaran yang muncul, terlebih setelah benar-benar menyadari bahwa acara ini akan berlangsung minggu depan. It is a big deal. Walaupun belum punya niat untuk naik kelas setelah dua kali turun di nomor Half Marathon pada dua event lain tahun ini, tapi untuk akhirnya bisa berkesempatan jadi bagian dari acara berkualifikasi dunia ini tentu bukan main-main. Apalagi buat saya yang sebelumnya nggak pernah kepikiran untuk menjadikan lari sebagai satu kegiatan serius. Bahkan sampai bisa mengajak orang tua untuk ikut 'nimbrung'.

Melihat lagi ke tahun 2015, saat itu saya hanya menjadikan lari sebagai salah satu alternatif penurunan berat badan. Waktu itu nggak ada target sih, saya hanya sudah merasa nggak nyaman dengan kondisi badan saya sendiri hingga kemudian bertekad untuk jalan kaki ke Lapangan Pancasila yang posisinya lumayan dekat dari rumah, setiap pagi, untuk jogging kecil menggerakkan badan. Boro-boro dapat satu kilometer, berhasil memutari satu kali lapangan yang ukuran track-nya kurang lebih 300 meter tanpa jalan kaki aja saya udah bersyukur banget. Terus setiap pagi saya berkomitmen untuk olahraga. Kok ya bersyukurnya setelah empat bulan saya bisa sampai ke berat badan yang dirasa cukup bisa bikin saya nyaman dengan diri sendiri, dipadukan dengan sedikit diet. Terus fitness level badan saya juga berangsur membaik. Saya sudah bisa lari sepuluh putaran tanpa engap. Mantab gak tuh?

Selain dimanfaatkan buat ajang penurunan berat badan, saya juga sempat menjadikan lari sebagai sarana untuk 'kabur' dari masalah-masalah yang saya punya waktu itu. Kabur di sini artinya ya sejenak meliburkan otak dari kewajiban mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Lari waktu itu jadi momen paling menyenangkan karena saya punya waktu untuk berkonsentrasi sama diri saya. Meski kadang juga ditemani dengan gunjingan internal tentang tingkah polah orang-orang lain yang menggunakan fasilitas Lapangan Pancasila itu. Sekali dua kali kalau lagi super penat, bisa juga lari sambil nangis. Karena entah kenapa setiap lari saya bisa jadi lebih peka tentang diri saya, entah itu kondisi tubuh pun kondisi hati. Kalau pernah denger istilah 'running is a therapy', itu saya banget sih waktu itu.

Keniatan saya untuk menjadikan lari sebagai sebuah rutinitas nggak pernah mendorong saya untuk punya tekad lari dengan jarak yang lebih jauh, lari di jalanan, atau bahkan ikut race. Sampai akhirnya suatu waktu saya ketemu salah satu temen yang ngajak saya untuk ikut sebuah event lari di Solo. Kalau tidak salah bulan Desember 2018. Keputusan ini sedikit banyak jadi momen titik balik saya untuk mengenal lari dan pelarian dari sudut pandang berbeda. Waktu itu saya dan teman saya yang sama-sama punya banyak waktu untuk lari pagi di Lapangan Pancasila, akhirnya memutuskan untuk daftar kategori 10K sebagai permulaan. Pernah sih lari 10 kilometer, tapi itu tahun 2015 dan di track yang elevasinya lempeng aja. Tapi ya pada akhirnya saya nekat juga, berhasil menyelesaikan course tanpa begitu terseok-seok walaupun tetep pake jalan sih. Nah, keikutsertaan saya di event tersebut bukan hanya menjadi event lari pertama yang saya ikuti seumur hidup, tapi juga jadi momen pertama saya ketemu sama teman-teman komunitas yang saat ini, setahun kemudian, menjadi 'rumah' baru buat saya.

Salatiga Running Buddies namanya. Perkenalan saya dengan komunitas ini terjadi karena keberanian saya kontakan sama salah satu teman lain yang sudah gabung duluan sama komunitas ini. Waktu itu jumlah anggotanya belum seramai sekarang, tapi sudah lumayan bisa bikin rame-rame kalo ada acara lari. Saya menghampiri gerombolan mereka sehabis menyelesaikan tugas 10K saya dan mulai nimbrung sok asik, terus langsung dimasukkan ke grup whatsapp mereka. Ternyata eh ternyata, keasyikan lari itu bikin saya betah dan rajin ikut latian bareng. Gara-gara rajin lari bareng itu juga saya dipercaya untuk menjadi salah satu anggota yang mengurusi keberlangsungan konten media SRB hingga akhirnya bisa berkembang sampai beberapa ratus followers. Belum signifikan sih, tapi pelan-pelan akan jadi keluarga yang lebih besar dan lebih solid, semoga. Bersyukur sekali, karena dengan berlari saya menjadi lebih berani untuk mencoba hal baru: rute baru, elevasi baru, jarak tempuh baru, kecepatan baru, dan tentunya dengan form tubuh baru yang lebih tepat dan tidak rawan cedera. Dari SRB saya belajar bagaimana cara memelihara ambisi kecil, sekecil memperbaiki catatan waktu lari pada setiap event yang diikuti. Dari situ juga saya bertemu dan dipertemukan dengan teman baru dan teman lama. Beneran berasa punya komunitas yang jarang absen berkegiatan setiap akhir pekan. Dan saya selalu bisa menikmati setiap kelelahan karena hasilnya bisa bikin badan sehat. Dari SRB saya bisa memaknai lari bukan hanya sebagai pelarian, tetapi sebagai obat yang menguatkan jiwa kita agar lebih siap menghadapi bermacam tantangan.

Kalau anda-anda sudah mengikuti blog saya sejak lama, mungkin ingat cerita pengalaman saya menjadi manager tim basket SMA kala itu. Kecintaan dan rasa belonging yang kuat dari sebuah tim olahraga adalah sesuatu yang tidak bisa digambarkan, hanya bisa dirasakan kehangatannya. Kadang tidak begitu membara, tapi tetap meninggalkan kesan. Begitu pula dengan SRB. Saya merasakan suasana yang sama. Walaupun kadang saya sendiri harus naik turun tertatih mempertahankan kondisi tubuh saya agar tetap prima, namun berlari bisa membuat saya hidup lagi. Hidup yang penuh ambisi tapi harus tetap tau diri dan jaga kondisi. Ada sedikit perbedaan memang, waktu menjadi manager tim basket saya hanya sibuk mengurusi urusan logistik dan performa orang lain. Sekarang di SRB, saya bukan hanya mengurusi orang lain tapi juga berusaha untuk menjaga performa diri saya sendiri untuk bisa terus berkembang. Menantang.

Banyak orang bilang lari itu olahraga paling mudah dan murah. Memang betul. Saya merasakan sendiri dampaknya. Namun, semoga kemudahan dan kemurahan berlari bisa dirasakan oleh orang banyak yang ingin memulai gaya hidup lebih sehat. Semoga kemudahan dan kemurahan tersebut bisa terus diingat, bahkan oleh teman-teman komunitas, supaya kita nggak terlalu terpaku sama event bombastis dan sepatu baru, melaikan lebih menjaga kondisi diri kita bahwa running is a remedy, no matter who you are. 

#happyrunningbuddies!

Unofficial member of Salatiga Running Buddies: BRI Run Solo 2019, first race ever


Broke my virgin half marathon for 3 hours 3 mins: Jogja Marathon 2019

Second half mary of the year: 2 hours 54 mins: Tiket.com Kudus Relay Marathon

Road to Borobudur Marathon!

Usual long run view

Usual long run squad

Usual post-long run photo sesh

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments


My first academic paper is officially published! Been enormously excited about every first times in my life, this one too. Never in my life, I imagine writing something so serious, but this one topic has been catching my attention for awhile so I decided to write about gender roles in collaboration with one of my lecturer, from whom I am inspired to read and study more things, and submitted it to a gender equality and environmental justice conference based in my university in 2017.

Presentation day of why-the-f-did-I do-this
However, I only got the opportunity to actually published the paper this year, May 1st to be exact, to a different journal base. My main concern in writing this paper was the rare condition of hearing stories about experiencing stay-at-home-father's life around the place I live. I was really interested to find out how they and their inner-circle respond to the idea of doing what considered as women's nature -as most people said, was well as taking the double roles pressures for those single-fathers out there. 
So if you are interested to know how the result is, please check the following link:

The Roles and Challenges of Stay-At-Home-Fathers in Salatiga, Central Java


Share
Tweet
Pin
Share
No comments



Untuk orang-orang yang selalu ada,
terima kasih karena selalu ada, 
selalu mendoakan, 
selalu memikirkan, 
memberi perhatian dan semangat. 
sekecil apapun
maaf karena sering kali tidak bisa selalu ada
karena di masa kehidupan saat ini, dengan kesibukan yang berbagai rupa 
percakapan sekecil apapun bisa jadi sangat berharga
dan makin sadar bahwa waktu adalah uang, sangat langka tidak perlu disia-siakan. 
banyak hal penting yang bisa dipikirkan dan dibicarakan, 
hal-hal yang membangun baik karakter, pola pikir dan wawasan, kebijaksanaan. 
membentuk hidup yang bisa membawa manfaat buat orang lain dan membawa sukacita. 
senyum. 
bahwa boleh berambisi, boleh bermimpi 
tapi jangan lupa berjuang 
dan jangan sampai mimpi itu menyakiti orang lain. 
karena ada harga yang harus dibayar. 
mengajarkan bahwa menjadi ada bukan sekadar raga tapi juga jiwa,
adalah terutama
terima kasih
untuk pelajaran tentang mempergunakan waktu dengan sebaik mungkin 
supaya setiap hal yang dilakukan bisa diselesaikan dengan efektif. 
untuk beropini dengan bijak, 
jangan ragu untuk berpendapat dan mengutarakan ideologi yang kamu percayai, 
karena dengan begitu orang bisa menilai karaktermu. 
untuk melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati
jujur pada dan tentang diri sendiri, 
itu yang akan membentuk karaktermu dan membuat orang lain menyukaimu. 
untuk menjadi rendah hati, 
utamakan orang lain, 
tapi jangan sampai lupa sama prioritas hidup; 
kadang lebih baik jalan sendiri daripada jalan bersama tapi nggak maju kemana-mana. 
manfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya, 
seberguna-bergunanya, 
karena belum tentu yang kamu inginkan punya dua nyawa.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
To fulfill my promise to myself about writing regularly for the blog, here's the story of a year experiencing new life in Japan. 

---

Half of 2017 and 2018 have been the greatest ups and downs of my life so far. At some point, that particular period of my life felt like another bubble which coexist with my 'normal' life but shouldn't be mixed up. There were lots of changes, trials and errors, getting to know new people then separated by distance.
It all started in early 2017 when I received an email from my university about exchange application to Kwansei Gakuin University, Nishinomiya. Though I was supposed to be in my final year that moment, I find it interesting and challenging for me to try and see how far can I go through this kind of competition. Considering that I have more or less connection to Japan after my first trip back in 2016, I feel like moving abroad is something I kinda need to escape the identity crisis I experienced at that moment. The good amount of scholarship that will be sufficient for my living cost also added more good reason to go. After a long consideration and whatnot, I ended up applying for the program and chose to take the full year program (Fall-Spring semester, which is 10 months). Great. I could keep my sanity and focus on building networking while also doing a bit of research for my undergraduate thesis, keep every single opportunity tight.
I submitted all the documents needed and waited for nothing to lose. And I was finally able to pass all the documents screening, motivation letter screening, grades, and face-to-face interview and have to be ready for the further process. I was thrilled, before the actual battle begun. April 2017 was the beginning of all the preparation process so I give it all. At the same time, misfortunate conspiracy happened a month away from my departure, that I was rejected for the scholarship with the current condition that I have paid all the pre-program administration so I couldn't step back. That was the down turn. My impulsive and ambitious decision took all the consequences even to the closest people. I have to survive and take responsibilities for what I decide. Escaping reality is never gonna be the best idea. It was just a bridge to get into another trouble and what's left is the option to hustle. So hustle it is. 

One gorgeous side of the campus
Regular view on my walk to school

Orientation week for exchange students

First month of living in Japan was though. I was filled with anxiety of making new friends and also thinking about how I ended up being a bitch for my impulsive mind. The introvert side of my dominating the whole orientation week, so I only managed to befriended with just a few both at school and at the dorm. My routines was walking to school alone, get into classes and stay silent, sleep in the library or reading once in awhile, then go home and lock myself in my bedroom. That was all for two weeks straight. I went out with some Japanese friends on weekends, the rest was just a boring life. By the end of the orientation period, I was able to make one more friend who ended up become my BFF for the whole year. One suck month saved gracefully. I started to gain confidence to get to know people and was able to engage more in class' discussion. That's when people really remember my name and listen to how am I doing that day. We had group breakfast, did stuff together, took day trips, cooked yummy foods, midnight movie marathon, while also managed to do group works in between. All the fun dorm life that I dreamt for has finally came true. 

Friends from EASE 2015, first people I hang out with in Japan

My circle grew a little bigger with these girls

My very first proper hiking to Mount Rokko

Second month went smoothly, thanks to my new BFF! While also thinking about how to get another scholarship and part-time jobs, I was able to enjoy studying so much compare to when I was home. I even got to choose a topic for my undergraduate thesis about minority group in Japan. Super fun. Decision to seize the day and enjoy every moment of it was helped, again, by the universe that I could experience the whole new study atmosphere with student from all over the world. Most classes was an eye-opening, some because of the actual material, some other because of the fruitful discussion with various perspectives. Not only at school, dinner chit-chat at the dorm was very deep and meaningful. We discussed about literally everything, even the most fundamental issue like transcendental matters. Arguments were common, but everyone of us took it easy and be cool afterwards. My miserable life was somehow getting better and better. Though I hadn't been able to control myself for some things like buying food until the third month, but I kinda get my life together. November was a little bit gloomy because it was my first autumn in my life that my feeling was kinda washed away with all the falling leaves. Homesickness started to hit me somedays, especially with Indonesian food craving. But I freaking love being a first-timer for autumn and survive the coldness. Even for me, the weather  was just perfect to walk around everywhere without sweating. I also got to experience the actual halloween, only I wasn't really in the mood to put on fancy costume like other people.

Halloween Party!
Best Christmas Eve dinner. Ever.
December! Fourth month was jolly and full of festivities. With mostly European and American surrounds me, I could feel the Christmas vibes from the beginning of the month and it was warm. Even though Japanese themselves don't particularly celebrate Christmas, people at my dorm made it feels like the real Christmas. Cakes, wines, secret Santa gifts, and many more. It was also my first time to have a proper Christmas Eve dinner and get together. One of the unforgettable moment of my life. Oh yeah, I almost forget to mention that I did celebrate Christmas in Japanese way, which was by pre-ordering KFC bucket and had it for the night after.

Japanese cooking class for school project

School Field trip to Osaka Museum of Housing and Living
Year changes. Crap! January seems like time was drained so quickly. After the whole festivities, I was bumped with the fact that some people who stayed for one semester started leaving and the dorm got empty. Winter break was coming too so some people went out for couple days. With the limited amount of money that I have, I couldn't get around Japan so much. But luckily after a couple saving months I was able to book a 3-days trip to Kanazawa and Shirakawa-go, one of my favorite destination in Japan! That winter break was the first time I experienced snow after forever and it felt sooo nice. I enjoyed every single part of the plan, forgetting all the coldness through my bones. At the end, winter break wasn't that bad because I could get out for a bit, even got to know my friends even better after the trip.

Our regular nights with regular people
Indonesian food night!
February to April was the winter semester period for all one year exchange students. We got busy with another short courses. Nothing was extraordinary since university felt so empty. However,  some good news appeared during that period to. I was so desperate that I couldn't continue my life in Japan because of cash-issue but cupid sent me love in an extraordinary form. After a long wait, I was able to get information about one scholarship that I might get the chance to accept. While preparing for winter semester, I was busy collecting informations about the scholarship also the requirements. Some people involved in that process were the actual angel who helped me despite the phone and text terrors I gave. So it was basically it.

These people made the trip even better!
How to end the semester right: go clubbing
Long story short, I was finally able to get scholarship for my second semester. It was such a relieve to study without having the burden to think about money. Some new students moved in to the dorm and it got packed again finally. I was able to get to know some new students who then became my other good friend, while also hangout with the same folks from the previous semester. Fall and Spring semester felt so different with so many changes that happened in a short time. The people, the season, dorm, and especially my own state of mind got to experience a whole new level. During the second semester I was able to take some classes which were even more useful for my research. I met some people who then became my source of information. I was also able to catch up visiting places I couldn't visit the semester before. I could see cherry blossoms in real life, even did the picnic as typical Japanese do during Spring. What was even more special, some natural disasters happened couple times during that period. Typhoon, flood, earthquake and heatwaves happened week after week closer to the end of the semester. Hence, I managed to see all the good and bad of life so I should be grateful for everything.

Our favorite Sensei!
Casual drinking night with Mabuchi Sensei (the guy on the right)
Changes and encounters have changed me then. Ten months was not too long, but long enough for me to create a different life pattern than the one I had at home. Special occasions every month were celebrated not in the way I used to do it, but that was a pleasant experience for sure. A lot of people come and go, some I keep in touch with, some acquaintances I keep the networking, the rest was just people I'm grateful to know. Every single experiences and knowledges gave even the littlest perspective and really improve my arguments. It makes me learn how to be less reactive, to think more before I actually say words. Even in the social life among Japanese in the neighborhood, I gained a lot of insights that are useful for my character building. I might be missing another year of university, but I obviously gained way more than what have lost.

My regular running view


Months and months after, I still miss my exchange life. I would say it there was more laughters even if tears drop in between those laughters. I miss living few steps away from my friend, I miss the beautiful library with comfy chair to sleep, I miss having lunch box by the university lawn, I miss late-night shenanigans and train catch-ups, I miss my usual afternoon run by the riverbanks, I miss Timmy the Turtle, I miss all of it. Japan was, is and always be in my heart.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

About Me

Andiline Thea Pranasari.
Central Java, Indonesia.

Ambitious procrastinator who always try to gain better everyday. She has plenty random deep-thoughts, that's why she writes. Sometimes.

Categories

Thoughts Travel Event Japan Student Exchange Photography South Korea Thailand

recent posts

Blog Archive

  • July 2021 (1)
  • September 2020 (1)
  • June 2020 (1)
  • November 2019 (1)
  • May 2019 (1)
  • January 2019 (2)
  • November 2018 (1)
  • July 2018 (2)
  • January 2018 (1)
  • October 2017 (2)
  • September 2017 (2)
  • January 2017 (1)
  • June 2016 (2)
  • April 2016 (1)
  • November 2015 (1)
  • December 2014 (1)
  • September 2014 (1)
  • August 2013 (2)
  • March 2013 (1)
  • March 2012 (2)
  • September 2011 (2)
  • April 2011 (2)
  • February 2011 (1)

Followers

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates