Enam hari lagi saya akan untuk pertama kalinya mengikuti salah satu event marathon paling tersohor di jagad perlarian Indonesia, Borobudur Marathon, untuk nomor Half Marathon. Meskipun ini bukan Half Marathon pertama, namun masih ada penasaran yang muncul, terlebih setelah benar-benar menyadari bahwa acara ini akan berlangsung minggu depan. It is a big deal. Walaupun belum punya niat untuk naik kelas setelah dua kali turun di nomor Half Marathon pada dua event lain tahun ini, tapi untuk akhirnya bisa berkesempatan jadi bagian dari acara berkualifikasi dunia ini tentu bukan main-main. Apalagi buat saya yang sebelumnya nggak pernah kepikiran untuk menjadikan lari sebagai satu kegiatan serius. Bahkan sampai bisa mengajak orang tua untuk ikut 'nimbrung'.
Melihat lagi ke tahun 2015, saat itu saya hanya menjadikan lari sebagai salah satu alternatif penurunan berat badan. Waktu itu nggak ada target sih, saya hanya sudah merasa nggak nyaman dengan kondisi badan saya sendiri hingga kemudian bertekad untuk jalan kaki ke Lapangan Pancasila yang posisinya lumayan dekat dari rumah, setiap pagi, untuk jogging kecil menggerakkan badan. Boro-boro dapat satu kilometer, berhasil memutari satu kali lapangan yang ukuran track-nya kurang lebih 300 meter tanpa jalan kaki aja saya udah bersyukur banget. Terus setiap pagi saya berkomitmen untuk olahraga. Kok ya bersyukurnya setelah empat bulan saya bisa sampai ke berat badan yang dirasa cukup bisa bikin saya nyaman dengan diri sendiri, dipadukan dengan sedikit diet. Terus fitness level badan saya juga berangsur membaik. Saya sudah bisa lari sepuluh putaran tanpa engap. Mantab gak tuh?
Selain dimanfaatkan buat ajang penurunan berat badan, saya juga sempat menjadikan lari sebagai sarana untuk 'kabur' dari masalah-masalah yang saya punya waktu itu. Kabur di sini artinya ya sejenak meliburkan otak dari kewajiban mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Lari waktu itu jadi momen paling menyenangkan karena saya punya waktu untuk berkonsentrasi sama diri saya. Meski kadang juga ditemani dengan gunjingan internal tentang tingkah polah orang-orang lain yang menggunakan fasilitas Lapangan Pancasila itu. Sekali dua kali kalau lagi super penat, bisa juga lari sambil nangis. Karena entah kenapa setiap lari saya bisa jadi lebih peka tentang diri saya, entah itu kondisi tubuh pun kondisi hati. Kalau pernah denger istilah 'running is a therapy', itu saya banget sih waktu itu.
Keniatan saya untuk menjadikan lari sebagai sebuah rutinitas nggak pernah mendorong saya untuk punya tekad lari dengan jarak yang lebih jauh, lari di jalanan, atau bahkan ikut race. Sampai akhirnya suatu waktu saya ketemu salah satu temen yang ngajak saya untuk ikut sebuah event lari di Solo. Kalau tidak salah bulan Desember 2018. Keputusan ini sedikit banyak jadi momen titik balik saya untuk mengenal lari dan pelarian dari sudut pandang berbeda. Waktu itu saya dan teman saya yang sama-sama punya banyak waktu untuk lari pagi di Lapangan Pancasila, akhirnya memutuskan untuk daftar kategori 10K sebagai permulaan. Pernah sih lari 10 kilometer, tapi itu tahun 2015 dan di track yang elevasinya lempeng aja. Tapi ya pada akhirnya saya nekat juga, berhasil menyelesaikan course tanpa begitu terseok-seok walaupun tetep pake jalan sih. Nah, keikutsertaan saya di event tersebut bukan hanya menjadi event lari pertama yang saya ikuti seumur hidup, tapi juga jadi momen pertama saya ketemu sama teman-teman komunitas yang saat ini, setahun kemudian, menjadi 'rumah' baru buat saya.
Salatiga Running Buddies namanya. Perkenalan saya dengan komunitas ini terjadi karena keberanian saya kontakan sama salah satu teman lain yang sudah gabung duluan sama komunitas ini. Waktu itu jumlah anggotanya belum seramai sekarang, tapi sudah lumayan bisa bikin rame-rame kalo ada acara lari. Saya menghampiri gerombolan mereka sehabis menyelesaikan tugas 10K saya dan mulai nimbrung sok asik, terus langsung dimasukkan ke grup whatsapp mereka. Ternyata eh ternyata, keasyikan lari itu bikin saya betah dan rajin ikut latian bareng. Gara-gara rajin lari bareng itu juga saya dipercaya untuk menjadi salah satu anggota yang mengurusi keberlangsungan konten media SRB hingga akhirnya bisa berkembang sampai beberapa ratus followers. Belum signifikan sih, tapi pelan-pelan akan jadi keluarga yang lebih besar dan lebih solid, semoga. Bersyukur sekali, karena dengan berlari saya menjadi lebih berani untuk mencoba hal baru: rute baru, elevasi baru, jarak tempuh baru, kecepatan baru, dan tentunya dengan form tubuh baru yang lebih tepat dan tidak rawan cedera. Dari SRB saya belajar bagaimana cara memelihara ambisi kecil, sekecil memperbaiki catatan waktu lari pada setiap event yang diikuti. Dari situ juga saya bertemu dan dipertemukan dengan teman baru dan teman lama. Beneran berasa punya komunitas yang jarang absen berkegiatan setiap akhir pekan. Dan saya selalu bisa menikmati setiap kelelahan karena hasilnya bisa bikin badan sehat. Dari SRB saya bisa memaknai lari bukan hanya sebagai pelarian, tetapi sebagai obat yang menguatkan jiwa kita agar lebih siap menghadapi bermacam tantangan.
Kalau anda-anda sudah mengikuti blog saya sejak lama, mungkin ingat cerita pengalaman saya menjadi manager tim basket SMA kala itu. Kecintaan dan rasa belonging yang kuat dari sebuah tim olahraga adalah sesuatu yang tidak bisa digambarkan, hanya bisa dirasakan kehangatannya. Kadang tidak begitu membara, tapi tetap meninggalkan kesan. Begitu pula dengan SRB. Saya merasakan suasana yang sama. Walaupun kadang saya sendiri harus naik turun tertatih mempertahankan kondisi tubuh saya agar tetap prima, namun berlari bisa membuat saya hidup lagi. Hidup yang penuh ambisi tapi harus tetap tau diri dan jaga kondisi. Ada sedikit perbedaan memang, waktu menjadi manager tim basket saya hanya sibuk mengurusi urusan logistik dan performa orang lain. Sekarang di SRB, saya bukan hanya mengurusi orang lain tapi juga berusaha untuk menjaga performa diri saya sendiri untuk bisa terus berkembang. Menantang.
Banyak orang bilang lari itu olahraga paling mudah dan murah. Memang betul. Saya merasakan sendiri dampaknya. Namun, semoga kemudahan dan kemurahan berlari bisa dirasakan oleh orang banyak yang ingin memulai gaya hidup lebih sehat. Semoga kemudahan dan kemurahan tersebut bisa terus diingat, bahkan oleh teman-teman komunitas, supaya kita nggak terlalu terpaku sama event bombastis dan sepatu baru, melaikan lebih menjaga kondisi diri kita bahwa running is a remedy, no matter who you are.
#happyrunningbuddies!
Unofficial member of Salatiga Running Buddies: BRI Run Solo 2019, first race ever |
Broke my virgin half marathon for 3 hours 3 mins: Jogja Marathon 2019 |
Second half mary of the year: 2 hours 54 mins: Tiket.com Kudus Relay Marathon |
Road to Borobudur Marathon! |
Usual long run view |
Usual long run squad |
Usual post-long run photo sesh |